Wanita Sakti
Di malam yang
hening, angin dingin menusuk badan. Aku berjalan menyusuri bibir sungai menuju
desa sebelah. Bunyi gemericik air yang membentur dengan batu membuat suasana
malam semakin merdu. Saat itu, Aku sedang bersama adikku yang bernama Ali. Kami
menuju rumah nenek karena ia sedang sakit.
Setibanya di
perbatasan desa, ada dua orang lelaki yang berjaga-jaga. Mereka tampak garang
dengan memegang clurit dan golok di masing-masing tangan kanannya. Kami merasa
takut saat melihat salah satu dari mereka mengangkat clurit dan menodongkannya
ke arah kita yang sedang berjalan menuju mereka. Entah mereka mengisyaratkan
apa.
“Mau kemana?”
tanya seorang yang membawa clurit dengan nada yang tinggi dan agak kasar.
“Kami mau ke
rumah Nenek. Ia sedang sakit dan tidak ada yang merawatnya.” Jawabku gugup.
“Silahkan
lewat” tanpa panjang lebar mereka mempersilahkan kami untuk lewat. Tanpa basa-basi
kami menuju rumah nenek yang tak jauh dari gerbang perbatasan desa.
Sesampainya di sana,
sebuah rumah kuno yang tak cukup besar –mungkin hanya cukup dihuni seorang dua
orang, kami mengetuk pintu. Tok… tok… terdengar suara nenek menjawab salam dan
mempersilahkan kami masuk. Kami melihat nenek sedang terbaring di atas ranjang.
Fisiknya terlihat lemah. Kami pun memberikan bubur dan buah-buahan yang
dititipkan oleh papa dan mama sambil bertanya mengenai desa nenek yang
penjagaannya semakin ketat. Tidak seperti biasanya yang siapapun boleh keluar
masuk desa tersebut.
Nenek pun
bercerita sambil melahap bubur yang Aku bawa.
“Penjagaan desa
di sini semakin ketat karena beberapa hari yang lalu ada kejadian seorang anak
laki-laki menghilang dari desa. Setelah sekian lama ternyata jasadnya ditemukan
dalam keadaan mengenaskan. Konon katanya, seorang nenek yang memiliki ilmu
hitam yang pernah diusir dari desa kembali lagi untuk balas dendam.”
“Kenapa kok gak
diusir lagi, Nek?” tanya Ali memotong cerita nenek.
“Itulah
masalahnya. Orang yang sakti yang bisa mengalahkannya hanyalah kepala desa
kita, Pak Samsul. Kini ia telah meninggal dan hanya ada surban dan tasbih
sebagai peninggalan. Akan tetapi, menurut istrinya ia selalu membawa tongkat
titipan dari gurunya semasa ia masih mondok di pesantren. Jadi yang membuatnya
sakti adalah tongkatnya. Namun saat dicari ternyata tongkatnya juga hilang.
Akhirnya kita hanya bisa pasrah dan melawannya dengan kekuatan fisik dan tenaga
manusia biasa.”
“Berarti
sekarang nenek sihir itu masih ada?” tanya Ali, lagi.
“Ya, nenek
sihir itu masih ada, bahkan sekarang menurut warga yang pernah melihatnya, ia
biasa melakukan ritual di saat tengah malam. Di sebuah hutan di kaki gunung.
Jadi kalian hati-hati saat pulang kembali ke rumah. Karena jalan dari desa ini
menuju desa kalian hanya ada satu, yaitu melewati bantaran sungai di bawah kaki
gunung tersebut.”
“Waduh, gimana
nih kak. Aku takut.” Sahut Ali ketakutan.
“Tenang saja.
Selagi kita berdoa dan meminta bantuan pada Tuhan yang Maha Esa, niscaya Tuhan
akan menolong kita.” Kataku mencairkan ketegangan.
“Oh ya.
Barusankan kita lewat sungai itu kan? Tapi kok nggak ada apa-apa ya?” imbuh Ali.
“Mungkin karena
kalian itu anak yang baik, jadi Tuhan senantiasa melindungi kalian di manapun
kalian berada.” Ucap nenek sambil tersenyum.
“Kalau kalian
ingin menginap di sini, nenek persilahkan. Masih ada kamar kosong yang muat
untuk kalian berdua.” Kata nenek menawarkan.
“Gak usah, Nek.
Terimakasih. Kami akan langsung pulang. Karena ibu menyuruh kami untuk segera
pulang setelah mengantarkan makanan pada nenek agar tidak terlalu larut malam.”
Ucapku menolak tawarannya dan pergi meninggalkan nenek.
***
Kami pulang
melewati jalur yang sama dengan yang kita lalui sebelumnya. Suasana sangat
dingin dan menyeramkan. Suara hembusan angin dan bulan purnama yang sedikit
tertutup awan, membuat bulu tubuhku merinding. Ali terus memegang pergelangan
tanganku dengan sangat kuat.
Tak lama
kemudian kami mendengar suara yang aneh. Krsek… krsek… Aku terkejut dan spontan
menolehkan kepala. Tidak ada siapa-siapa. Ali semakin ketakutan. Suara air
sungai berisik tiba-tiba tenang seketika. Bulan purnama tertutup sepenuhnya.
Namun Aku tetap berjalan memberanikan diri dan membaca tasbih terus-menerus.
Perlahan detak jantungku yang kencang mulai kembali tenang. Suasana kembali
normal.
Dari kejauhan,
di hadapan, Aku melihat seseorang yang tua renta berbaju merah pekat berpangku
pada sebuah tongkat. Ia hanya diam saja di sana. Aku memerhatikannya dengan
sinis dan mendekat dengan hati-hati. Ali masih memegang erat tubuhku. Jarak
antara kami dan orang tua itu semakin dekat. Tiba-tiba ia mengangkat tubuhnya
dan berdiri. Bulu tubuh kami merinding seketika itu serasa aliran listrik
mengalir di dalam tubuh. Rambutnya panjang kusut sampai ke menyentuh kaki.
Ternyata ia seorang nenek-nenek.
Ia berbalik
badan dan mengangkat tongkatnya seraya mulutnya berkomat-kamit membaca sesuatu
yang tak kupahami. Tiba-tiba tubuhku terpental jauh, sedangkan Ali terdiam dan
berdiri kaku. Nenek tersebut menghampiri Ali dengan senyum yang mengerikan. Aku
yang melihat hal itu hanya bisa menjerit dan meminta tolong pada siapapun yang
mendengarnya. Aku takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada Ali.
Dari arah yang
berlawanan dengan nenek jahat tadi melayang sebuah tongkat mengenai kepalanya
dan terjatuh. Ternyata ia adalah seorang penyelamat yang diceritakan nenekku
sebelumnya. Ia mengenakan pakaian serba putih. Lebih terkejutnya lagi ternyata
ia juga seorang nenek pula. Sama seperti
nenek yang menyerang kami. –jadi di sini Aku punya sebutan untuk membedakannya,
nenek merah (jahat) dan nenek putih (baik). Nenek putih memegang dahi Ali dan
membacakan sebuah doa, seketika Ali terjatuh dan tergeletak di tanah. Lalu
nenek putih menyuruhku membawanya ke tempat yang aman. Nenek merah terbangun
dan menyerang nenek putih seketika itu juga.
Aku melihatnya
dari balik pohon. Mereka terlibat pertempuran yang sengit. Saling mengeluarkan
kekuatan sihir yang sangat dahsyat. Hantam sana hantam sini. Hingga pada
akhirnya nenek merah lalai dan terkena serangan nenek putih. Ia terpental
hingga ke sisi lain sungai. Nenek putih menghampirinya dan membinasakannya dari
dunia ini. Selesailah pertarungan dan dimenangkan oleh nenek putih.
Ia memberi isyarat
agar kami keluar karena keadaan sudah aman. Aku pun keluar dan menggendong ali
yang tidak sadarkan diri. Aku meletakkan ali di hadapannya. Memegang dahinya
lantas membacakan mantra. Aku melihat wajahnya yang tertutup kerudung putih.
Wajahnya serasa tak asing bagiku. Tak lama setelah itu Ali terbangun, tersadar.
Aku memeluknya dengan bahagia. Nenek putih itu pergi dan menghilang di saat
kami saling bicara padahal kami masih belum sempat mengucapkan terima kasih
atas bantuannya. Ia meninggalkan sehelai selendang dan tongkat yang digunakan
untuk melawan nenek merah yang jahat tadi.
Saat kami
hendak beranjak dari tempat itu ada dua orang pria menghampiri kami. Ternyata mereka
adalah dua penjaga perbatasan desa yang kami jumpai di saat kami mengunjungi
rumah nenek sebelumnya. Mereka bertanya pada kami tentang kejadian yang baru
saja terjadi. Mereka bertanya seolah-olah mereka tahu kejadian tersebut.
Akhirnya mereka mengatakan yang sebenarnya.
“Dari awal kami
sengaja mengikuti kalian yang ingin menuju rumah nenek. Sebab kami tahu nenek
kalian sakti dan mampu mengalahkan nenek jahat yang meresahkan warga. Namun, Ia
selalu menolak permintaan kami saat dimintai pertolongan. Hingga dari kami ada
yang meninggal. Ketika kalian datang, kami mengambil kesempatan itu dan
diam-diam membuntuti kalian. Dan ternyata dugaan kami benar, kalian memiliki
hubungan darah dengannya. Kami memancing keluar nenek jahat dan mempertemukan
kalian dengannya. Di balik itu kami juga memberitahukan keadaan kalian yang
sangat genting hingga nenek kalian mau membantu kami mengalahkan nenek jahat
tadi. Walhasil, rencana kami tidak sia-sia.”
Aku tekejut
saat mendengarnya. Ternyata nenek putih tadi adalah nenekku. Ia sangat hebat
dan sakti.
“ia juga
menitip pesan untuk kalian berdua. Lanjutkan perjuangan nenek kalian dan
jagalah tongkat peninggalan kakek buyut kalian.” Imbuhnya.
“kakek buyut?
Siapa kakek buyutku?” tanyaku heran.
“kakek buyut
kalian adalah Pak Samsul, kepala desa ini yang pernah mengalahkan nenek jahat
dahulu kala. Dan nenek kalian adalah putrinya yang diwariskan tongkat sakti
untuk menjaga desa dari serangan nenek jahat jika ia kembali. Kini kalianlah
yang mengemban amanah itu dan harus menjaga seluruh desa yang berada di bawah
kaki gunung ini.” Jelasnya.
Kini amanah
yang berat itu menjadi tanggung jawabku dan harus kujalani dengan baik meskipun
umurku masih belia dan tak tahu harus memulainya dari mana.
Komentar
Posting Komentar