Wanita Sakti

https://id.pinterest.com/pin/240379698855371312/

Di malam yang hening, angin dingin menusuk badan. Aku berjalan menyusuri bibir sungai menuju desa sebelah. Bunyi gemericik air yang membentur dengan batu membuat suasana malam semakin merdu. Saat itu, Aku sedang bersama adikku yang bernama Ali. Kami menuju rumah nenek karena ia sedang sakit.

Setibanya di perbatasan desa, ada dua orang lelaki yang berjaga-jaga. Mereka tampak garang dengan memegang clurit dan golok di masing-masing tangan kanannya. Kami merasa takut saat melihat salah satu dari mereka mengangkat clurit dan menodongkannya ke arah kita yang sedang berjalan menuju mereka. Entah mereka mengisyaratkan apa.

“Mau kemana?” tanya seorang yang membawa clurit dengan nada yang tinggi dan agak kasar.

“Kami mau ke rumah Nenek. Ia sedang sakit dan tidak ada yang merawatnya.” Jawabku gugup.

“Silahkan lewat” tanpa panjang lebar mereka mempersilahkan kami untuk lewat. Tanpa basa-basi kami menuju rumah nenek yang tak jauh dari gerbang perbatasan desa.

Sesampainya di sana, sebuah rumah kuno yang tak cukup besar –mungkin hanya cukup dihuni seorang dua orang, kami mengetuk pintu. Tok… tok… terdengar suara nenek menjawab salam dan mempersilahkan kami masuk. Kami melihat nenek sedang terbaring di atas ranjang. Fisiknya terlihat lemah. Kami pun memberikan bubur dan buah-buahan yang dititipkan oleh papa dan mama sambil bertanya mengenai desa nenek yang penjagaannya semakin ketat. Tidak seperti biasanya yang siapapun boleh keluar masuk desa tersebut.

Nenek pun bercerita sambil melahap bubur yang Aku bawa.

“Penjagaan desa di sini semakin ketat karena beberapa hari yang lalu ada kejadian seorang anak laki-laki menghilang dari desa. Setelah sekian lama ternyata jasadnya ditemukan dalam keadaan mengenaskan. Konon katanya, seorang nenek yang memiliki ilmu hitam yang pernah diusir dari desa kembali lagi untuk balas dendam.”

“Kenapa kok gak diusir lagi, Nek?” tanya Ali memotong cerita nenek.

“Itulah masalahnya. Orang yang sakti yang bisa mengalahkannya hanyalah kepala desa kita, Pak Samsul. Kini ia telah meninggal dan hanya ada surban dan tasbih sebagai peninggalan. Akan tetapi, menurut istrinya ia selalu membawa tongkat titipan dari gurunya semasa ia masih mondok di pesantren. Jadi yang membuatnya sakti adalah tongkatnya. Namun saat dicari ternyata tongkatnya juga hilang. Akhirnya kita hanya bisa pasrah dan melawannya dengan kekuatan fisik dan tenaga manusia biasa.”

“Berarti sekarang nenek sihir itu masih ada?” tanya Ali, lagi.

“Ya, nenek sihir itu masih ada, bahkan sekarang menurut warga yang pernah melihatnya, ia biasa melakukan ritual di saat tengah malam. Di sebuah hutan di kaki gunung. Jadi kalian hati-hati saat pulang kembali ke rumah. Karena jalan dari desa ini menuju desa kalian hanya ada satu, yaitu melewati bantaran sungai di bawah kaki gunung tersebut.”

“Waduh, gimana nih kak. Aku takut.” Sahut Ali ketakutan.

“Tenang saja. Selagi kita berdoa dan meminta bantuan pada Tuhan yang Maha Esa, niscaya Tuhan akan menolong kita.” Kataku mencairkan ketegangan.

“Oh ya. Barusankan kita lewat sungai itu kan? Tapi kok nggak ada apa-apa ya?” imbuh Ali.

“Mungkin karena kalian itu anak yang baik, jadi Tuhan senantiasa melindungi kalian di manapun kalian berada.” Ucap nenek sambil tersenyum.

“Kalau kalian ingin menginap di sini, nenek persilahkan. Masih ada kamar kosong yang muat untuk kalian berdua.” Kata nenek menawarkan.

“Gak usah, Nek. Terimakasih. Kami akan langsung pulang. Karena ibu menyuruh kami untuk segera pulang setelah mengantarkan makanan pada nenek agar tidak terlalu larut malam.” Ucapku menolak tawarannya dan pergi meninggalkan nenek.

***

Kami pulang melewati jalur yang sama dengan yang kita lalui sebelumnya. Suasana sangat dingin dan menyeramkan. Suara hembusan angin dan bulan purnama yang sedikit tertutup awan, membuat bulu tubuhku merinding. Ali terus memegang pergelangan tanganku dengan sangat kuat.

Tak lama kemudian kami mendengar suara yang aneh. Krsek… krsek… Aku terkejut dan spontan menolehkan kepala. Tidak ada siapa-siapa. Ali semakin ketakutan. Suara air sungai berisik tiba-tiba tenang seketika. Bulan purnama tertutup sepenuhnya. Namun Aku tetap berjalan memberanikan diri dan membaca tasbih terus-menerus. Perlahan detak jantungku yang kencang mulai kembali tenang. Suasana kembali normal.

Dari kejauhan, di hadapan, Aku melihat seseorang yang tua renta berbaju merah pekat berpangku pada sebuah tongkat. Ia hanya diam saja di sana. Aku memerhatikannya dengan sinis dan mendekat dengan hati-hati. Ali masih memegang erat tubuhku. Jarak antara kami dan orang tua itu semakin dekat. Tiba-tiba ia mengangkat tubuhnya dan berdiri. Bulu tubuh kami merinding seketika itu serasa aliran listrik mengalir di dalam tubuh. Rambutnya panjang kusut sampai ke menyentuh kaki. Ternyata ia seorang nenek-nenek.

Ia berbalik badan dan mengangkat tongkatnya seraya mulutnya berkomat-kamit membaca sesuatu yang tak kupahami. Tiba-tiba tubuhku terpental jauh, sedangkan Ali terdiam dan berdiri kaku. Nenek tersebut menghampiri Ali dengan senyum yang mengerikan. Aku yang melihat hal itu hanya bisa menjerit dan meminta tolong pada siapapun yang mendengarnya. Aku takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada Ali.

Dari arah yang berlawanan dengan nenek jahat tadi melayang sebuah tongkat mengenai kepalanya dan terjatuh. Ternyata ia adalah seorang penyelamat yang diceritakan nenekku sebelumnya. Ia mengenakan pakaian serba putih. Lebih terkejutnya lagi ternyata ia juga seorang nenek pula.  Sama seperti nenek yang menyerang kami. –jadi di sini Aku punya sebutan untuk membedakannya, nenek merah (jahat) dan nenek putih (baik). Nenek putih memegang dahi Ali dan membacakan sebuah doa, seketika Ali terjatuh dan tergeletak di tanah. Lalu nenek putih menyuruhku membawanya ke tempat yang aman. Nenek merah terbangun dan menyerang nenek putih seketika itu juga.

Aku melihatnya dari balik pohon. Mereka terlibat pertempuran yang sengit. Saling mengeluarkan kekuatan sihir yang sangat dahsyat. Hantam sana hantam sini. Hingga pada akhirnya nenek merah lalai dan terkena serangan nenek putih. Ia terpental hingga ke sisi lain sungai. Nenek putih menghampirinya dan membinasakannya dari dunia ini. Selesailah pertarungan dan dimenangkan oleh nenek putih.

Ia memberi isyarat agar kami keluar karena keadaan sudah aman. Aku pun keluar dan menggendong ali yang tidak sadarkan diri. Aku meletakkan ali di hadapannya. Memegang dahinya lantas membacakan mantra. Aku melihat wajahnya yang tertutup kerudung putih. Wajahnya serasa tak asing bagiku. Tak lama setelah itu Ali terbangun, tersadar. Aku memeluknya dengan bahagia. Nenek putih itu pergi dan menghilang di saat kami saling bicara padahal kami masih belum sempat mengucapkan terima kasih atas bantuannya. Ia meninggalkan sehelai selendang dan tongkat yang digunakan untuk melawan nenek merah yang jahat tadi.

Saat kami hendak beranjak dari tempat itu ada dua orang pria menghampiri kami. Ternyata mereka adalah dua penjaga perbatasan desa yang kami jumpai di saat kami mengunjungi rumah nenek sebelumnya. Mereka bertanya pada kami tentang kejadian yang baru saja terjadi. Mereka bertanya seolah-olah mereka tahu kejadian tersebut. Akhirnya mereka mengatakan yang sebenarnya.

“Dari awal kami sengaja mengikuti kalian yang ingin menuju rumah nenek. Sebab kami tahu nenek kalian sakti dan mampu mengalahkan nenek jahat yang meresahkan warga. Namun, Ia selalu menolak permintaan kami saat dimintai pertolongan. Hingga dari kami ada yang meninggal. Ketika kalian datang, kami mengambil kesempatan itu dan diam-diam membuntuti kalian. Dan ternyata dugaan kami benar, kalian memiliki hubungan darah dengannya. Kami memancing keluar nenek jahat dan mempertemukan kalian dengannya. Di balik itu kami juga memberitahukan keadaan kalian yang sangat genting hingga nenek kalian mau membantu kami mengalahkan nenek jahat tadi. Walhasil, rencana kami tidak sia-sia.”

Aku tekejut saat mendengarnya. Ternyata nenek putih tadi adalah nenekku. Ia sangat hebat dan sakti.

“ia juga menitip pesan untuk kalian berdua. Lanjutkan perjuangan nenek kalian dan jagalah tongkat peninggalan kakek buyut kalian.” Imbuhnya.

“kakek buyut? Siapa kakek buyutku?” tanyaku heran.

“kakek buyut kalian adalah Pak Samsul, kepala desa ini yang pernah mengalahkan nenek jahat dahulu kala. Dan nenek kalian adalah putrinya yang diwariskan tongkat sakti untuk menjaga desa dari serangan nenek jahat jika ia kembali. Kini kalianlah yang mengemban amanah itu dan harus menjaga seluruh desa yang berada di bawah kaki gunung ini.” Jelasnya.

Kini amanah yang berat itu menjadi tanggung jawabku dan harus kujalani dengan baik meskipun umurku masih belia dan tak tahu harus memulainya dari mana.

Komentar