Siapa dia?


pictur by: pinterest.id

Siapa dia? Mata bulatnya melirik ke arahku. Kuperhatikan sekelilingku namun tak ada hal yang menarik perhatian. Ternyata benar ia memerhatikanku. Sesekali ia mengalihkan pandangannya ke layar ponsel yang sedang ia genggam. Aku jadi sedikit tersipu malu karenanya.

Aku beranjak dari tempat duduk, melangkah ke kolam ikan dekat air mancur di tengah taman. Kubuka bungkus roti dan kulemparkan remahan roti untuk ikan-ikan di sana. Kualihkan sekejap pandanganku pada gadis di seberang kolam. Tak sengaja kami pun saling bertatapan. Hampir saja kulemparkan ponsel yang kugenggam. Ah, jadi salting aku. Lagi-lagi ia mengalihkan pandangannya. Siapa dia sebenarnya? Apa dia mengenalku? Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Atau memang kita saling kenal tapi di semesta yang lain? Aku tidak tahu persis siapa wajah di balik cadar yang menyamarkan kecantikannya. Ah…jantungku tiba-tiba berdetak kencang saat memikirkannya.

*****

Saban hari sepulang sekolah, kuluangkan waktu untuk mampir sejenak ke taman di dekat sekolah. Tak ada hal lain lagi yang kulakukan selain memberi makan ikan yang ada di kolam sambil menanti sang surya kembali ke ufuk bumi.

Kuteringat saat pertama kali aku berkunjung ke taman yang hampir terlupakan ini. Saat itu aku bersama Syifa, teman masa kecilku, kondisi taman kala itu sangat kotor dan tak terawat. Lampu-lampunya mati, bunga-bunga tersimpuh layu, air di kolam pun keruh dan banyak ikan yang mati, lumut-lumut bertengger di dinding kolam.

Melihat kondisi taman yang sangat memprihatinkan ini, Syifa berantusias menghidupkan kembali keasrian taman seperti dahulu kala. Ia minta bantuan teman sekolahnya namun tak ada satupun yang menerima ajakannya. Namun ia tak berhenti sampai di sini saja. Ia pergi dari satu tempat ke tempat yang lain mencari bantuan. Tapi tetap saja nihil. Aku tidak tega melihatnya bersingkup dengan keringat menderas di pipinya. Kutawarkan diriku untuk membantunya. “sungguh?” ia terkejut. Aku hanya tersenyum kecil melihat wajahnya yang tampak berseri-seri dan bergembira.

Tidak sebentar, butuh waktu dua pekan untuk membersihkan taman dan memperbaiki fasilitas yang rusak. Semua itu kami lakukan sepulang sekolah hingga malam tiba. Bermodal uang celengan dan ketulusan hati nurani kami bisa menghidupkan kembali taman yang hampir menemui ajal. Tak butuh waktu lama untuk menarik perhatian pengunjung agar datang ke taman ini. Tiga hari setelah kuposting foto Syifa bersama indahnya sinar senja yang menerpa langit, taman ini tak pernah sepi dari pengunjung.

Kini, semua itu hanya tinggal kenangan setelah Syifa kembali ke pangkuan ilahi. Ia menghembuskan nafas terakhirnya sebab penyakit yang ia derita. Ia merahasiakan penyakit tersebut dari semua orang termasuk diriku. Ia memberiku harapan terakhirnya sepekan sebelum kepergiannya. Ia memintaku untuk tidak lupa memberi makan ikan yang ada di kolam. “Aku akan tetap hidup bersama ikan yang ada di sini.” Itulah pesan terakhir yang kusimpan di dalam hati sampai saat ini.

*****

Ah… gadis itu lagi. Ku coba untuk menahan mata ini agar tidak melihatnya. Kukeluarkan kantong berisi remahan roti, melemparkan pada ikan-ikan seperti yang biasa syifa dan aku lakukan. Gadis itu hanya duduk diam di bangku seberang kolam. Apa yang ia ingin lakukan? Apa yang sedang ia pikirkan? Apa dia memerhatikanku? Aku pun tak tau.

Aku mulai penasaran bercampur curiga. ‘jangan-jangan ia memata-mataiku? atau bahkan punya niatan buruk padaku. Atau…’ seribu satu hal tak senonoh melayang-layang di kepalaku. Membuatku seperti menjadi target pembunuh bayaran. “hanya ada satu cara untuk memastikannya.” Gumamku. Kulangkahkan kaki setapak demi setapak ke arah gadis misterius. Kubiarkan mata ini menatap langit menyembunyikan niatku. Mulut bersiul berlagak bodoh. Kuharap ia terkelabuhi.

Wush… ia berlari saat aku mendekatinya. Ternyata ia tahu niatku. Padahal sedikit lagi aku berhasil membongkar identitasnya. Hatiku geram. Wajah di balik cadar itu masih menjadi sebuah misteri bagiku. Hidupku takkan bisa tenang sampai aku tahu siapa dia sebenarnya. Aku takkan menyerah sampai di sini. Akan kukejar dia sampai ke ujung dunia walau bersembunyi di lubang semut sekalipun.

Aku pergi meninggalkan taman sembari menuntun sepeda kesayangan. Malam ini aku berjalan sendiri tanpa teman bicara. Biasanya aku pulang bersama syifa sekaligus mengantar pulang. Tapi kini, hanya imajinasi yang bisa menemaniku dalam sepi.

Berjalan di trotoar, di tepi jalanan tanpa bising kendaraan. Hanya lampu bolham sebagai penerang jalanan ini. Setapak demi setapak jalan kulalui. Tak lama berselang, hujan mengguyur dengan sangat deras. Aku berlari secepat kijang meski mustahil menghindari jutaan tetesan air hujan. Kuberteduh sejenak di pos kamling yang letaknya cukup jauh dari rumah. Kuhamparkan punggung di atas papan kayu. Terbang di alam khayalan sebagai teman agar tidak bosan.

‘Al… Al…’ aku terbangun seketika saat mendengar seseorang memanggil namaku. Ku tengok kanan dan kiri mencari sumber suara itu berasal. Tak ada seorangpun di sekitar tempatku berada. Aku hanya melihat gelap di balik tirai air hujan. “mungkin hanya perasaanku saja”.

Al… Al… telingaku dibikin terkejut untuk kedua kalinya. Kali ini aku mendengarnya dengan jelas. Suara itu milik seorang gadis. Kusorot sekelilingku dengan lampu senter ponsel. Namun hanya gelap yang kudapat.

Al… Al… sekali lagi suara itu bikin bulu kudukku merinding. Aku memberanikan diri untuk mencari sumber suara itu.

Al… Al… untuk kesekian kalinya suara ini sangat menggangguku. Kuhampiri sumber suara yang semakin jelas di gendang telinga. Tidak peduli walau hujan terus membuat rintangan. Duk… ‘aduh sial’ terjatuh tersandung akar pohon yang menjalar ke luar tanah.

“Al… kenapa kamu berlari. Penat kakak mengejarmu. Ini kakak bawakan payung untukmu.” Aku terkejut saat pria bertubuh besar berdiri di belakangku. Padahal suara tadi terdengar jelas milik seorang gadis, lembut dan kecil. Bukan kasar dan besar seperti pria berotot ini. “ada apa Al, apa kamu baik-baik saja? Wajahmu terlihat pucat. Sebaiknya kita segera pulang sebelum kamu jatuh sakit.”

Sungguh bodoh diriku ini. Mengapa aku melakukan hal segila itu hanya gara-gara suara yang tak jelas pemiliknya. Aku terus-menerus merenungkan semua itu. Meski begitu rasa penasaran yang menancap tidak akan bisa dilepas hanya dengan usaha untuk melupakannya. Biar sajalah.

Kubuang beban masalah untuk hari ini dengan merebahkan pungung di atas kasur yang empuk. Ah… sungguh tenang dan nikmat. Pikiran menjadi fresh, melayang-layang di antara hembusan angin yang masuk melalui jendela yang kubuka sebelah. Sejuk yang menusuk badan membuat kelopak mata tak kuasa untuk tetap terbuka. Perlahan menutup dan membuat sebuah dunia khayalan tanpa batas.

Al… sebuah suara melirih di gendang telingaku. sesuatu yang lembut meraba telapak tanganku lalu mengganggamnya. Aku bisa merasakan kehangatan yang mengalir lewat genggaman itu. Kucoba untuk membuka mata tapi cahaya terang menyilaukan mataku. “Al, kutunggu kamu di taman seperti biasa malam ini.” Seorang gadis dengan gaun serba putih berpaling dari hadapanku dan menghilang begitu saja. Mata terbelalak di bawah sinar lampu di dalam kamarku. “Apakah itu mimpi atau kenyataan?”. Kulihat jarum jam tangan yang mengarah ke angka dua belas. Tanpa pikir panjang aku bergegas keluar rumah menuju taman mengendarai sepeda kesayanganku. Kukayuh pedal sepeda sekencang mungkin meski juataan tetes air masih menghujani bumi.

Seorang gadis berdiri di bawah lampu taman dengan sebuah payung sebagai atap peneduh. Ia tampak seperti menunggu seseorang. Mungkin aku yang ia tunggu? Pede amat aku ini. Kudekati dia dengan tanpa rasa malu dan ragu. Kuhentikan langkah kaki ini yang tak jauh di hadapannya. Aku ingin membuka cadarnya tapi kedua tangan menolak pikiranku.

“Tidak perlu repot-repot. Aku akan melakukannya sendiri untukmu dan melepas rasa penasaran yang selama ini menancap di ulu hatimu”. Ia mulai melepas sisi kiri bagian atas. Pipinya merona kemerah-merahan. Senyum bibirnya menyimpul. Dagunya tak terlalu lancip atau lebar. Paras cantiknya mulai terlihat.

Ada sedikit keraguan yang mengganjal di hati. Wajah itu sepertinya tak asing bagiku. Tapi siapa? Mengapa aku bisa lupa dengan parasnya yang cantik. Aku berusaha untuk mengingatnya kembali. Aku terus mencari memo yang menyimpan ingatanku tentang kecantikannya di dalam ingatanku.

“Mungkin cukup sampai di sini. Jika kamu lupa jangan terlalu keras mencari ingatan tentangku.” Ia berbalik badan dan berpaling dariku. Ia pergi meninggalkanku.

Baru saja aku ingat kalau dia adalah orang yang sangat denganku. Bahkan aku pernah punya rasa cinta padanya. “Syifa!” dialah gadis itu. Teman masa kecilku yang telah merubah kehidupanku. Tapi, bukankah dia sudah tiada tiga tahu lalu. Mengapa ia bisa ada di sini? Apa aku salah lihat?

Tanpa pikir panjang aku berlari mengejarnya untuk mencari jawaban yang sesungguhnya. Walau aku masih ragu apakah dia benar teman masa kecilku atau orang lain. Kalau itu benar-benar Syifa akan kuhalalkan dia sesegera mungkin dan hidup bersama selamanya. Kukerahkan semua staminaku agar bisa mengejarnya yang sudah berada jauh di depan. Ia berlari menghindariku saat ia sadar aku sedang mengejarnya. Ia terus menjauh dariku. Kenapa ia lari dariku? Ada apa denganku? Apa dia membenciku? Ia berhenti di tengah jalan. Kuhentikan langkahku seketika itu juga. Namun ia tetap mengelak saat aku mencoba mendekatinya.

“Cukup, Al. Jangan melangkah lebih dari itu.” Hatiku bagaikan tertusuk pedang yang sangat tajam saat ungkapan itu keluar dari lisannya.

“Jangan mendekat! Aku ini wanita haram bagimu.” Ia meneteskan air mata dan mengalir di pipinya. Aku tahu kalau aku dan dia tidak mempunyai hubungan mahram. Tapi apa segitu bencinya dia padaku sampai hatinya terasa sakit.

“Kalau begitu kuhalalkan kamu saat ini juga. Di sini. Di bawah langit yang menangis sebagai saksi.” Ia menangis semakin menjadi-jadi saat aku berusaha menenangkannya.

“Tidak, kita tidak akan hidup bersama di dunia ini, tapi di alam yang lebih indah dari dunia ini.” Kuterdiam saat mendengar balasannya. Aku tidak paham apa maksud dari perkataannya.

Sebuah cahaya menyilaukan muncul dari belakang Syifa secara tiba-tiba. Ia menangis, berbalik dan berlari menuju cahaya itu. Aku pun mengejarnya, mencoba menembus cahaya yang sangat terang walau penglihatanku tersilaukan. Hanya demi dia, kukejar bahkan sampai semesta yang berbeda.

Tiiinnn…. Bruak…. Kepalaku terasa pusing. Dunia yang terang redup seketika. Gelap gempita. Dingin dan tenang.

Komentar