Siapa dia?
Siapa dia? Mata
bulatnya melirik ke arahku. Kuperhatikan sekelilingku namun tak ada hal yang
menarik perhatian. Ternyata benar ia memerhatikanku. Sesekali ia mengalihkan
pandangannya ke layar ponsel yang sedang ia genggam. Aku jadi sedikit tersipu
malu karenanya.
Aku beranjak dari
tempat duduk, melangkah ke kolam ikan dekat air mancur di tengah taman. Kubuka
bungkus roti dan kulemparkan remahan roti untuk ikan-ikan di sana. Kualihkan
sekejap pandanganku pada gadis di seberang kolam. Tak sengaja kami pun saling
bertatapan. Hampir saja kulemparkan ponsel yang kugenggam. Ah, jadi salting
aku. Lagi-lagi ia mengalihkan pandangannya. Siapa dia sebenarnya? Apa dia
mengenalku? Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Atau memang kita saling kenal
tapi di semesta yang lain? Aku tidak tahu persis siapa wajah di balik cadar
yang menyamarkan kecantikannya. Ah…jantungku tiba-tiba berdetak kencang saat
memikirkannya.
*****
Saban hari
sepulang sekolah, kuluangkan waktu untuk mampir sejenak ke taman di dekat sekolah.
Tak ada hal lain lagi yang kulakukan selain memberi makan ikan yang ada di
kolam sambil menanti sang surya kembali ke ufuk bumi.
Kuteringat saat
pertama kali aku berkunjung ke taman yang hampir terlupakan ini. Saat itu aku
bersama Syifa, teman masa kecilku, kondisi taman kala itu sangat kotor dan tak
terawat. Lampu-lampunya mati, bunga-bunga tersimpuh layu, air di kolam pun
keruh dan banyak ikan yang mati, lumut-lumut bertengger di dinding kolam.
Melihat kondisi
taman yang sangat memprihatinkan ini, Syifa berantusias menghidupkan kembali
keasrian taman seperti dahulu kala. Ia minta bantuan teman sekolahnya namun tak
ada satupun yang menerima ajakannya. Namun ia tak berhenti sampai di sini saja.
Ia pergi dari satu tempat ke tempat yang lain mencari bantuan. Tapi tetap saja
nihil. Aku tidak tega melihatnya bersingkup dengan keringat menderas di
pipinya. Kutawarkan diriku untuk membantunya. “sungguh?” ia terkejut. Aku hanya
tersenyum kecil melihat wajahnya yang tampak berseri-seri dan bergembira.
Tidak sebentar,
butuh waktu dua pekan untuk membersihkan taman dan memperbaiki fasilitas yang
rusak. Semua itu kami lakukan sepulang sekolah hingga malam tiba. Bermodal uang
celengan dan ketulusan hati nurani kami bisa menghidupkan kembali taman yang
hampir menemui ajal. Tak butuh waktu lama untuk menarik perhatian pengunjung
agar datang ke taman ini. Tiga hari setelah kuposting foto Syifa bersama
indahnya sinar senja yang menerpa langit, taman ini tak pernah sepi dari
pengunjung.
Kini, semua itu
hanya tinggal kenangan setelah Syifa kembali ke pangkuan ilahi. Ia
menghembuskan nafas terakhirnya sebab penyakit yang ia derita. Ia merahasiakan
penyakit tersebut dari semua orang termasuk diriku. Ia memberiku harapan
terakhirnya sepekan sebelum kepergiannya. Ia memintaku untuk tidak lupa memberi
makan ikan yang ada di kolam. “Aku akan tetap hidup bersama ikan yang ada di
sini.” Itulah pesan terakhir yang kusimpan di dalam hati sampai saat ini.
*****
Ah… gadis itu
lagi. Ku coba untuk menahan mata ini agar tidak melihatnya. Kukeluarkan kantong
berisi remahan roti, melemparkan pada ikan-ikan seperti yang biasa syifa dan
aku lakukan. Gadis itu hanya duduk diam di bangku seberang kolam. Apa yang ia ingin
lakukan? Apa yang sedang ia pikirkan? Apa dia memerhatikanku? Aku pun tak tau.
Aku mulai
penasaran bercampur curiga. ‘jangan-jangan ia memata-mataiku? atau bahkan punya
niatan buruk padaku. Atau…’ seribu satu hal tak senonoh melayang-layang di
kepalaku. Membuatku seperti menjadi target pembunuh bayaran. “hanya ada satu cara
untuk memastikannya.” Gumamku. Kulangkahkan kaki setapak demi setapak ke arah
gadis misterius. Kubiarkan mata ini menatap langit menyembunyikan niatku. Mulut
bersiul berlagak bodoh. Kuharap ia terkelabuhi.
Wush… ia berlari
saat aku mendekatinya. Ternyata ia tahu niatku. Padahal sedikit lagi aku
berhasil membongkar identitasnya. Hatiku geram. Wajah di balik cadar itu masih
menjadi sebuah misteri bagiku. Hidupku takkan bisa tenang sampai aku tahu siapa
dia sebenarnya. Aku takkan menyerah sampai di sini. Akan kukejar dia sampai ke
ujung dunia walau bersembunyi di lubang semut sekalipun.
Aku pergi
meninggalkan taman sembari menuntun sepeda kesayangan. Malam ini aku berjalan
sendiri tanpa teman bicara. Biasanya aku pulang bersama syifa sekaligus
mengantar pulang. Tapi kini, hanya imajinasi yang bisa menemaniku dalam sepi.
Berjalan di
trotoar, di tepi jalanan tanpa bising kendaraan. Hanya lampu bolham sebagai
penerang jalanan ini. Setapak demi setapak jalan kulalui. Tak lama berselang,
hujan mengguyur dengan sangat deras. Aku berlari secepat kijang meski mustahil
menghindari jutaan tetesan air hujan. Kuberteduh sejenak di pos kamling yang
letaknya cukup jauh dari rumah. Kuhamparkan punggung di atas papan kayu.
Terbang di alam khayalan sebagai teman agar tidak bosan.
‘Al… Al…’ aku
terbangun seketika saat mendengar seseorang memanggil namaku. Ku tengok kanan
dan kiri mencari sumber suara itu berasal. Tak ada seorangpun di sekitar
tempatku berada. Aku hanya melihat gelap di balik tirai air hujan. “mungkin
hanya perasaanku saja”.
Al… Al… telingaku
dibikin terkejut untuk kedua kalinya. Kali ini aku mendengarnya dengan jelas.
Suara itu milik seorang gadis. Kusorot sekelilingku dengan lampu senter ponsel.
Namun hanya gelap yang kudapat.
Al… Al… sekali
lagi suara itu bikin bulu kudukku merinding. Aku memberanikan diri untuk
mencari sumber suara itu.
Al… Al… untuk
kesekian kalinya suara ini sangat menggangguku. Kuhampiri sumber suara yang
semakin jelas di gendang telinga. Tidak peduli walau hujan terus membuat
rintangan. Duk… ‘aduh sial’ terjatuh tersandung akar pohon yang menjalar ke
luar tanah.
“Al… kenapa kamu
berlari. Penat kakak mengejarmu. Ini kakak bawakan payung untukmu.” Aku
terkejut saat pria bertubuh besar berdiri di belakangku. Padahal suara tadi
terdengar jelas milik seorang gadis, lembut dan kecil. Bukan kasar dan besar
seperti pria berotot ini. “ada apa Al, apa kamu baik-baik saja? Wajahmu
terlihat pucat. Sebaiknya kita segera pulang sebelum kamu jatuh sakit.”
Sungguh bodoh
diriku ini. Mengapa aku melakukan hal segila itu hanya gara-gara suara yang tak
jelas pemiliknya. Aku terus-menerus merenungkan semua itu. Meski begitu rasa
penasaran yang menancap tidak akan bisa dilepas hanya dengan usaha untuk
melupakannya. Biar sajalah.
Kubuang beban
masalah untuk hari ini dengan merebahkan pungung di atas kasur yang empuk. Ah…
sungguh tenang dan nikmat. Pikiran menjadi fresh, melayang-layang di antara
hembusan angin yang masuk melalui jendela yang kubuka sebelah. Sejuk yang
menusuk badan membuat kelopak mata tak kuasa untuk tetap terbuka. Perlahan
menutup dan membuat sebuah dunia khayalan tanpa batas.
Al… sebuah suara
melirih di gendang telingaku. sesuatu yang lembut meraba telapak tanganku lalu
mengganggamnya. Aku bisa merasakan kehangatan yang mengalir lewat genggaman
itu. Kucoba untuk membuka mata tapi cahaya terang menyilaukan mataku. “Al,
kutunggu kamu di taman seperti biasa malam ini.” Seorang gadis dengan gaun
serba putih berpaling dari hadapanku dan menghilang begitu saja. Mata
terbelalak di bawah sinar lampu di dalam kamarku. “Apakah itu mimpi atau
kenyataan?”. Kulihat jarum jam tangan yang mengarah ke angka dua belas. Tanpa
pikir panjang aku bergegas keluar rumah menuju taman mengendarai sepeda
kesayanganku. Kukayuh pedal sepeda sekencang mungkin meski juataan tetes air
masih menghujani bumi.
Seorang gadis
berdiri di bawah lampu taman dengan sebuah payung sebagai atap peneduh. Ia
tampak seperti menunggu seseorang. Mungkin aku yang ia tunggu? Pede amat aku
ini. Kudekati dia dengan tanpa rasa malu dan ragu. Kuhentikan langkah kaki ini
yang tak jauh di hadapannya. Aku ingin membuka cadarnya tapi kedua tangan menolak
pikiranku.
“Tidak perlu
repot-repot. Aku akan melakukannya sendiri untukmu dan melepas rasa penasaran
yang selama ini menancap di ulu hatimu”. Ia mulai melepas sisi kiri bagian
atas. Pipinya merona kemerah-merahan. Senyum bibirnya menyimpul. Dagunya tak
terlalu lancip atau lebar. Paras cantiknya mulai terlihat.
Ada sedikit
keraguan yang mengganjal di hati. Wajah itu sepertinya tak asing bagiku. Tapi
siapa? Mengapa aku bisa lupa dengan parasnya yang cantik. Aku berusaha untuk
mengingatnya kembali. Aku terus mencari memo yang menyimpan ingatanku tentang
kecantikannya di dalam ingatanku.
“Mungkin cukup
sampai di sini. Jika kamu lupa jangan terlalu keras mencari ingatan tentangku.”
Ia berbalik badan dan berpaling dariku. Ia pergi meninggalkanku.
Baru saja aku
ingat kalau dia adalah orang yang sangat denganku. Bahkan aku pernah punya rasa
cinta padanya. “Syifa!” dialah gadis itu. Teman masa kecilku yang telah merubah
kehidupanku. Tapi, bukankah dia sudah tiada tiga tahu lalu. Mengapa ia bisa ada
di sini? Apa aku salah lihat?
Tanpa pikir panjang
aku berlari mengejarnya untuk mencari jawaban yang sesungguhnya. Walau aku masih
ragu apakah dia benar teman masa kecilku atau orang lain. Kalau itu benar-benar
Syifa akan kuhalalkan dia sesegera mungkin dan hidup bersama selamanya.
Kukerahkan semua staminaku agar bisa mengejarnya yang sudah berada jauh di
depan. Ia berlari menghindariku saat ia sadar aku sedang mengejarnya. Ia terus
menjauh dariku. Kenapa ia lari dariku? Ada apa denganku? Apa dia membenciku? Ia
berhenti di tengah jalan. Kuhentikan langkahku seketika itu juga. Namun ia
tetap mengelak saat aku mencoba mendekatinya.
“Cukup, Al. Jangan
melangkah lebih dari itu.” Hatiku bagaikan tertusuk pedang yang sangat tajam
saat ungkapan itu keluar dari lisannya.
“Jangan mendekat!
Aku ini wanita haram bagimu.” Ia meneteskan air mata dan mengalir di pipinya. Aku
tahu kalau aku dan dia tidak mempunyai hubungan mahram. Tapi apa segitu bencinya
dia padaku sampai hatinya terasa sakit.
“Kalau begitu
kuhalalkan kamu saat ini juga. Di sini. Di bawah langit yang menangis sebagai
saksi.” Ia menangis semakin menjadi-jadi saat aku berusaha menenangkannya.
“Tidak, kita tidak
akan hidup bersama di dunia ini, tapi di alam yang lebih indah dari dunia ini.”
Kuterdiam saat mendengar balasannya. Aku tidak paham apa maksud dari
perkataannya.
Sebuah cahaya menyilaukan
muncul dari belakang Syifa secara tiba-tiba. Ia menangis, berbalik dan berlari menuju
cahaya itu. Aku pun mengejarnya, mencoba menembus cahaya yang sangat terang
walau penglihatanku tersilaukan. Hanya demi dia, kukejar bahkan sampai semesta yang
berbeda.
Tiiinnn…. Bruak….
Kepalaku terasa pusing. Dunia yang terang redup seketika. Gelap gempita. Dingin
dan tenang.
Komentar
Posting Komentar