Ruang 13:
Misteri Pembunuh Tanpa Jejak
“Kemana dia pergi barusan?” Kau bertanya mencariku
dengan raut penuh amarah. Menoleh ke kanan-kiri, bingung bak singa kehilangan
mangsa. Kau mondar-mandir mengelilingi tempat bersimbah darah itu. Melirik dan menatap
tajam mayat yang tergeletak mengenaskan di ruang 13.
Langkahmu menyusuri sudut-sudut ruangan, mengamati dan memeriksa setiap jejak
dan sidik jari pelaku. Mencari barang bukti atau senjata tajam yang digunakan
oleh pelaku. Hampir seperempat hari kau menginvestigasi TKP, tapi tak ada
tanda-tanda orang lain di sana.
***
Seperti biasa, kau selalu memakai setelan berselimut mantel
warna kuning kecokelatan, topi hitam kesayangan, dan kaca mata hitam bergaya.
Tangan kirimu bersarung karet, membawa koper yang sangat misterius. Langkahmu
begitu cepat semenjak turun dari mobil Innova warna hitam menuju
tempat yang terpasang police line.
Kau menerobos barisan manusia yang mengerumuni lantai dasar TKP.
Menunjukkan kartu identitas sebagai bukti bahwa kau orang penting di sana.
Petugas berseragam biru pun memersilahkanmu naik ke lantai 2 lokasi Tempat Kejadian Perkara (TKP).
Kau lempar koper silver itu pada seseorang yang memberi hormat padamu.
Ia menangkapnya sigap. Kacamatamu disisipkan ke dalam saku sembari merapikan
kerah baju.
“Bagaimana?” Suara besar nan halusmu memancarkan aura kebijaksanaan.
Hanya dengan satu kata itu, semua petugas berseragam biru cepat tanggap
melaporkan hasil investigasi dan penyelidikan sebelumnya. Walhasil, tetap sama.
Tak ada sidik jari maupun barang bukti yang ditemukan.
“Ck ...!” Kamu kesal. Berjam-jam melakukan investigasi dan penyelidikan,
tapi hasilnya nihil. Kau hanya bisa mengepalkan tangan dan menggertakkan gigi
sekuat tenaga sebagai pelampiasan. Kau lepas mantel yang sedari tadi menempel
di punggung, menyingsingkan lengan baju hingga urat nadimu tampak. Matamu
melirik ke ruang 13 yang penuh hawa mencekam. Langkah kaki
menghampiri pintu berpalang garis kuning. Menoleh kanan-kiri, memantapkan hati
untuk kembali menyelidiki.
Di saat telapak tangan hampir menggapai gagang pintu, aura membunuh
menerpa tengkuk lehermu, membuat urat otot mengencang dan bulu kuduk tegang.
Mematahkan mental seakan pembunuh berdarah dingin sudah siap
menyambut dari balik pintu.
Kemantapan hati yang sempat terombang-ambing sesaat, kini mulai tenang.
Sepuluh detik kau berdiri di tempat tanpa ada gerakan sehelai rambut. Tim
investigasi bertanya-tanya, ‘Ada apa denganmu?’
***
Semerbak aroma ketakutan dan kesedihan korban masih terasa.
Jendela-jendela tertutup rapat dari dalam selama kejadian perkara. Hanya
ventilasi udara berukuran kucing yang terbuka di atas setiap jendela. Posisi
bangku tak berubah se-inchi pun setelah 12 jam. Kertas dan buku berlumuran
darah berserakan sebelum tim penyelidik memungut untuk diidentifikasi.
Kau berdiri di titik tengah ruangan, di bawah kipas angin, tempat garis
korban terbaring. Mengamati sekeliling, mereka-reka, mencari jalan keluar jika
kau seorang pembunuh. Sebab tak mungkin kau keluar lewat pintu depan membawa pisau
berlumuran darah berjalan di antara ribuan manusia. Buntu, otak tak berjalan
sesuai prediksi rekayasa pembunuh. Banyak kasus pembunuhan yang telah
berkali-kali kau pecahkan.
Kali ini kau mencoba menjelma sebagai korban. Memprediksi dari mana
datangnya pembunuh cerdik ini. Korban dibunuh saat tengah sendirian pukul 20.00
waktu setempat. Melihat luka di punggung korban yang cukup dalam sepertinya
korban ditusuk dari belakang. Bukan dengan pisau dapur kecil biasa melainkan
pisau yang cukup besar yang dapat menembus ulu hati. Korban terbaring menghadap
pintu keluar yang artinya kemungkinan korban hendak keluar. Tak ada bekas sidik
jari siapa pun di baju korban, membuktikan setelah menusuk korban,
pelaku lari seketika. Tak adanya bekas sidik jari di gagang pintu atau di mana
pun menunjukkan pintu saat itu dalam keadaan terbuka dan pelaku sangat
hati-hati.
Dalam hitungan detik pelaku hilang seketika. Tanpa jejak, tanpa barang bukti,
bahkan tak ada seorang pun yang menyaksikan secara detail tragedi misterius
itu. Padahal saat-saat seperti itu orang-orang berlalu-lalang di sekitar TKP.
Lagi-lagi kau mengalami kebuntuan, otakmu tak bisa berputar, tak bisa
menganalisis gerak-gerik dan motif si pelaku. Seakan ada yang tidak beres,
janggal, dan ada sesuatu yang terlewatkan.
Dari 100 orang yang diinterogasi oleh tim, tak ada
seorang pun yang memiliki dendam kesumat pada korban. Pun seorang yang cocok
untuk dicurigai sebagai tersangka karena mereka punya alibi. Kau hanya bisa
mondar-mandir di tempat, menatap keluar jendela, memandang gagak yang entah sejak kapan duduk
hening di batang bambu.
***
Katanya kau mencariku, tapi kau hanya mondar-mandir di tempat itu.
Sedangkan aku tengah berdiri di sini sedari tadi, seharian, semenjak kau
datang. Apa kau tidak melihatku?
Kau keluar masuk ruangan yang tidak ada apa-apanya selain bangku-bangku
yang berserakan. Menghampiri tim, bincang-bincang, melihat hasil dari DNA yang
telah dianalisis. Sekali lagi, tak ditemukan DNA orang lain. Aneh!
Terkadang kau membuka jendela hanya untuk sekadar mengganti udara. Aroma
besi berkarat yang bertahan selama 12 jam perlahan mulai sirna. Oksigen masuk,
lalu keluar bersama aroma itu sekaligus kesedihan korban yang terperangkap di dalam
ruangan sempit yang penuh cerita kelam.
Kau sangat percaya diri dengan kemampuanmu yang telah memecahkan puluhan
kasus pembunuhan. Selalu melakukan investigasi seorang diri. Tapi kali ini kau
tak bisa berkutik. 20 tahun kau mengabdi jadi detektif namun tak pernah
menjumpai kasus serumit ini. Ketahuilah bahwa dunia lebih luas dari isi
kepalamu!
Matahari mulai berdiri di atas ubun-ubun. Terik semakin menyengat,
membuatmu gerah dan tak betah berada di dalam ruangan pengap itu. Kau keluar
sekejap menengok ke lantai dasar saat Toyota Vios warna biru putih berparkir.
Mobil-mobil tak dikenal mengekor saat tiga orang bersetelan rapi menginjakkan
kaki ke tanah.
Kau membawa beberapa temanmu yang juga seorang detektif profesional,
memancing wartawan ke area yang seharusnya tak boleh dipublikasikan. Wartawan
televisi dan koran menyerbu bagaikan ayam yang diberi pakan. Bertanya-tanya
pada setiap orang demi mengorek informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi. Namun
mereka bungkam, kompak demi menjaga nama baik tempat tinggal tercinta.
Kau membuka koper silver yang sempat kau campakkan tadi. Mengambil kaca
pembesar, sepasang pensil dan buku catatan. Mengamati dengan sangat cermat di
setiap tempat yang jadi kemungkinan sering disentuh. Gagang pintu lagi, meja,
kaca, dan bangku, tetap saja bersih. Area pun kau perluas ke luar ruangan sebab
kurang puas. Sederet pagar sampai tangga hasilnya sama saja.
Tidak sepertimu, rekan-rekanmu membawa alat yang lebih canggih. Fingerprint
identification atau alat untuk mengidentifikasi sidik jari jauh lebih canggih
dari pada barang ampas milikmu. Bisa mengidentifikasi sidik jari yang sangat
lembut sekalipun yang tidak bisa dilihat mata manusia, katanya. Nyatanya barang
buatan abad 21 sekalipun tidak bisa temukan apa-apa. Kau kencangkan karet yang
menyarungi tanganmu, menyeringai, sombong.
Apa mungkin ia bunuh diri? Kalian semua berada di ujung rel. Keputusan
akhir jika tak menemukan bukti atau informasi sebesar biji gandum maka akan
diklaim sebagai tindakan bunuh diri. Jelas itu akan merugikan pihak terkait
padahal itu hanya silatan lidah untuk menutupi ketidak-mampuanmu.
***
Kau tahu, aku sudah bosan melihatmu di ruang yang sama, melakukan
aktifitas yang sama, tengok sana-sini ke sudut yang sama selama 5 jam. Kau
berunding, memprediksi, dan mencari solusi agar pelaku tertangkap dan masalah
cepat kelar. Namun, apalah daya. Tanpa barang bukti yang kuat kau tidak bisa
begitu saja menuduh siapa pelakunya. Kau tak bisa berbuat
apa-apa.
Otakmu hampir tak kuat berputar. Kali ini kau memeriksa ulang semua
ingatan yang ada. Mencoba menerka serpihan-serpihan ingatan yang mungkin kau
lewati. Lebih teliti dan lebih dalam lagi. Sedikit lagi, hampir. Bingo! Ya,
akhirnya kau ingat. Kau hendak menyusul temanmu yang keluar lebih dulu untuk
memberi informasi tentang pelaku.
“Hey! Mau kemana, Kau?” Kutepuk pundakmu. Kau terkejut,
memutar wajah secepat membalik telapak tangan.
“Dari mana saja, Kau?” Kau melototiku seakan punya
dendam padaku.
“Aku dari tadi duduk di situ
mengawasimu.” Kutunjuk kembali tempat kau memandangku tanpa sadar
tadi.
“Kau ....”
Hening ...
Kau tak bisa bicara lagi setelah kutembus ulu hatimu.
Aku melesat cepat, melewati lubang ventilasi, kembali ke wujud
sebelumnya, duduk manis di batang bambu sembari menyaksikan darah
segar mengalir. Belum puas, aku akan mencari mangsa lagi.
Berhati-hatilah! Aku senantiasa mengintai dalam bayangmu, menunggu kau lengah,
mencuci otakmu, dan melahap kehidupanmu. Waspadalah!!!
Komentar
Posting Komentar