Dahsyatnya Doa Ibu
Pada abad pertengahan,
dari wilayah Timur Tengah, hiduplah seorang ibu parubaya bersama putra
satu-satunya. Putranya tersebut merupakan seorang syekh yang cukup masyhur di
wilayahnya.
Suatu saat,
putranya meminta izin pada ibunya untuk pergi mencari ilmu ke Tanah Suci. Namun
ibunya menolak karena ia tak mau tinggal sendirian saja di rumahnya. Keesokan
harinya syekh itu meminta izin lagi pada ibunya namun hasilnya sama dengan
sebelumnya. Berkali-kali ia meminta izin dan jawabannya tetap sama. Akhirnya,
sang syekh pun pergi tanpa mendapatkan izin dari ibunya. Ketika ibunya
mengetahui hal tersebut, ia berdoa agar putranya diselamatkan dari murka isi
hatinya.
Di tengah
perjalanan menuju Tanah Suci, tepat di sebuah desa yang jauh dari lingkungan
ulama, syekh tadi merasa kelelahan dan beristirahat di masjid yang ada di desa
syekh. Dan melakukan salat sunah di sana.
Di sebuah pasar
tak jauh dari tempat itu, seorang pencuri melancarkan aksinya. Ia berlari
menuju kawasan masjid yang ditempati syekh untuk beristirahat. Warga yang
mengikuti pencuri melihatnya masuk ke dalam masjid. Sayangnya para warga tidak
tahu kalau pencuri itu sudah lolos dan kabur sebelum para warga sampai di
masjid.
Warga yang
melihat si pencuri masuk masjid menuduh orang yang salat itu adalah pencurinya.
Warga yang lain menyetujui sebab di zaman yang penuh dengan kezaliman ini tak
memandang siapa dia dan bagaimana latar belakangnya. “Mungkin si pencuri itu
salat dan mengganti baju agar kita tidak tahu. Karena orang yang salat tidak
mungkin mencuri dugaannya.” Kata salah seorang warga yang cukup geram
melihatnya. “Karena tidak mungkin si pencuri bisa lolos secepat itu dari kami.”
imbuhnya. Sang syekh yang sedang salat tidak mengetahui kalau ia sedang
ditunggu oleh para warga yang mengamuk.
Setelah syekh
selesai salat, ia bingung mengapa banyak warga di masjid. Seorang warga masuk
dan meminta syekh tersebut keluar masjid dengan membawa barang-barangnya.
Saat ditanya
tentang pencurian, ia menjawab tidak tahu karena ia memang tidak tahu apa-apa
tentang hal itu. Warga kemudian kesal atas jawabannya dan menggeledah tas yang ia
bawa. Ternyata mereka menemukan baju yang dipakai oleh si pencuri saat
melancarkan aksinya sesuai pernyataan saksi mata saat berada di TKP. Syekh yang
dituduh mencuri tidak terima dan memukul warga yang menggeledah tasnya. Para
warga yang jumlahnya sangat banyak dengan mudah melumpuhkan syekh. Ia terkena
tusukan di tangan dan kedua mata. Kakinya lumpuh dipukul dengan balok kayu.
Namun tak cukup di situ. Para warga mengeksekusinya dengan memotong kedua
tangannya karena melakukan pencurian yang sangat banyak sesuai hukum Islam.
Setelah
pengeksekusian selesai, ia diantarkan pulang ke rumahnya. Di tengah perjalanan
warga yang mengantarkan syekh bertemu dengan seorang pendeta yang merupakan
teman karib dari syekh tersebut. Ia bertanya pada warga: “Bagaimana keadaannya
bisa seperti ini?” Warga menjelaskan kronologi kejadiannya. Sang pendeta heran,
cukup lama ia terdiam dan akhirnya ia paham maksudnya. Ternyata mereka salah
paham. Pencuri yang mereka maksud telah tertangkap di desa sebelah. Sedangkan
yang mereka eksekusi adalah syekh yang sangat masyhur.
Mereka terkejut
akan penjelasan pendeta tadi. Mereka langsung minta maaf atas kesalah-pahaman
mereka dan mengantarkan selayaknya syekh pada umumnya. Syekh pun bercerita
tentang nasib hidup yang menimpanya. “Mungkin ini adalah azab bagiku karena
tidak menuruti perintah ibuku dan meninggalkannya di rumah sendirian. Biarkan
ini adalah pelajaran bagiku juga bagi kalian.” Kata syekh memberi nasihat pada
mereka sambil mengeluarkan air mata.
Sesampainya di
depan rumahnya. Ia meminta para warga untuk meninggalkannya di depan pintu
rumah. Kini syekh sendirian. Ia mengucapkan salam. Terdengar suara perempuan
menjawab salamnya.
“Aku adalah
pengemis yang kelaparan. Bolehkah aku minta sedikit makan yang ada?” Tanya syekh
berlagak seperti pengemis.
“Boleh,
kemarilah, mendekatlah ke pintu.” Jawabnya dari dalam rumah.
“Aku tidak bisa
mendekat sebab aku tidak bisa berjalan.”
“Kalau begitu
ulurkan tanganmu.”
“Aku tidak bisa
mengulurkan tangan sebab aku tidak punya tangan.”
“Maaf aku tidak
bisa keluar karena kita tidak saling kenal.”
“Tenang saja
aku tidak bisa melihat karena mataku sudah buta.”
Si perempuan
pun keluar dengan membawa makanan. Sontak ia menjatuhkan makanan yang
dibawanya. Ia terkejut dan menangis karena seorang yang mengaku pengemis adalah
putranya dengan keadaan cacat tak memiliki anggota tubuh dan penglihatan. Syeh
pun meminta maaf pada ibunya karena kesalahan yang ia buat. Dan meninggalkan
ibunya sendirian di rumah.
Komentar
Posting Komentar